
Dari Kampung ke Dunia: Aksi 27 Negara di Sukajadi Tuntaskan Krisis Iklim Lewat Kolaborasi Pemuda Asia
Project YLCC (Youth Leadership Climate Camp) 2024 terinspirasi oleh urgensi global untuk mengatasi krisis iklim yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Perubahan iklim bukan hanya isu sains dan teknologi, melainkan juga persoalan moral dan sosial yang membutuhkan respons lintas batas negara dan lintas keyakinan. Proyek ini dirancang oleh Climate Reality Indonesia dan Islamic World Educational, Scientific and Cultural Organization (ICESCO) sebagai wujud komitmen dalam memberdayakan generasi muda Asia untuk menjadi pemimpin perubahan iklim yang inklusif dan berkelanjutan.
Partisipasi lintas 27 negara Asia menegaskan bahwa solusi krisis iklim harus dibangun melalui solidaritas regional yang merangkul kearifan lokal, ilmu pengetahuan, serta nilai-nilai spiritual dan etika. Terinspirasi pula oleh prinsip-prinsip lintas kepercayaan, seperti khalifah dalam Islam, Ahimsa dalam Hinduisme, dan Tikkun Olam dalam Yudaisme. YLCC meyakini bahwa tanggung jawab menjaga bumi merupakan panggilan moral bersama. Kampung Sukajadi di Kabupaten Bogor menjadi lokasi studi kasus yang nyata, tempat di mana prinsip-prinsip global diterjemahkan menjadi tindakan lokal, dengan pendekatan partisipatif dan berpusat pada komunitas.
Kegiatan YLCC 2024 berlangsung selama 3 hari in-camp (12–14 Juni 2024) diikuti dengan pre-camp mulai dari 25 Mei 2024 hingga hari-h dan 3 minggu post-camp berupa sesi pelaksanaan implementasi project team.Dalam fase in-camp, peserta dari 27 negara Asia dibagi menjadi tim kecil yang masing-masing terdiri dari 4 orang, dengan fokus tematik berbeda seperti krisis air, sengketa adat, ketahanan pangan, energi terbarukan, kesehatan lingkungan, dan lainnya.
Studi kasus lapang dilakukan di Kampung Sukajadi, Kec. Tamansari, Kabupaten Bogor. Salah satu tim, yaitu tim krisis air yang terdiri dari peserta dari Laos, Indonesia, dan Tunisia, melaksanakan survei dan observasi teknis selama tiga hari. Kegiatan mencakup pemetaan GPS terhadap sumber air (sumur, sungai, mata air), wawancara dengan warga dan tokoh adat tentang perubahan ketersediaan air 5–10 tahun terakhir, serta observasi fisik kualitas dan penggunaan air. Masing-masing anggota tim menjalankan peran berdasarkan konteks negaranya: Laos dengan pendekatan konservasi komunitas, Indonesia fokus pada regulasi dan budaya lokal, Tunisia membandingkan efisiensi air di wilayah semi-kering.
Setelah fase lapang, peserta menyusun laporan lintas negara dan proposal aksi mikro seperti desain sistem penampungan air hujan atau filter air sederhana, yang kemudian dipresentasikan dalam forum virtual 27 negara Asia. Dalam program pasca-kamp, peserta akan mengimplementasikan kepemimpinan, strategi kampanye iklim berbasis komunitas, serta praktik kolaborasi interfaith dalam mengatasi krisis lingkungan ke masyarakat.
Bagi masyarakat Kampung Sukajadi, kehadiran tim YLCC memberi harapan dan pengakuan. Melalui pemetaan dan wawancara, suara mereka, yang sering terpinggirkan dalam diskusi iklim diangkat sebagai dasar pengambilan keputusan. Dengan penghargaan terhadap kearifan lokal dan keterlibatan lintas budaya, mereka tidak hanya menjadi objek penelitian, tetapi mitra sejajar dalam menyusun solusi.
Aksi mikro seperti rencana penampungan air hujan dan filter sederhana menjadi langkah awal menciptakan ketahanan air komunitas yang murah, berkelanjutan, dan berbasis solidaritas. Warga menyadari bahwa mereka tidak sendiri: krisis mereka dilihat, dipahami, dan dijawab oleh pemuda dari seluruh Asia. Proyek ini menumbuhkan rasa percaya diri dan kendali atas masa depan, serta membuka jalur kerja sama lebih lanjut dengan aktor lintas negara dan lintas iman.
Secara lebih luas, melalui narasi lintas agama dan pelibatan lembaga keagamaan, YLCC menyebarluaskan pesan bahwa melindungi bumi adalah panggilan spiritual dan kemanusiaan bersama, menciptakan efek domino berupa gerakan akar rumput di berbagai wilayah Asia.
Pasca 3 minggu post-camp YLCCC, saya melanjutkan program tersebut di Malang dengan mengajak Mahasiswa di Desa Maliangan, Pakis, Kab. Malang dalam memerdayakan desa menuju desa herbal untuk mengatasi krisisiiklim dan kesehatan. Sebelum turun lapang, saya melakukan brainstroming dan perencanaan selama 7 minggu kemudian diajukan ke Universitas Brawijaya sebagai donatur program lanjutan saya.
Dari proyek ini, kami belajar bahwa perubahan iklim tidak bisa diselesaikan hanya dengan teknologi, tetapi dengan hati, dialog, dan kolaborasi lintas batas. Ketika para pemuda dari berbagai negara dan latar belakang agama duduk bersama, saling belajar dan merumuskan solusi untuk krisis air di satu kampung kecil, maka terwujudlah esensi dari kepemimpinan iklim yang sejati—yaitu keberanian, empati, dan kerendahan hati.
Kami menyadari bahwa interfaith collaboration bukan sekadar simbol toleransi, tetapi kekuatan nyata dalam membangun narasi moral dan etika yang mendorong perubahan. Pelibatan tokoh adat dan komunitas lokal menjadi kunci keberhasilan karena mereka memegang pengetahuan, sejarah, dan kearifan yang tidak bisa digantikan oleh teori semata.
Dalam konteks Asia, keberagaman tradisi spiritual ternyata menjadi sumber energi positif untuk menyatukan langkah dalam menyelamatkan bumi. Seperti pesan Qur’an dalam Q.S. Al-A’raf: 56, “Janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya”, sebuah seruan yang bergema dalam semua ajaran, dan menjadi pengingat kuat bahwa kita semua adalah penjaga bumi ini, bersama.